1. Dari Ibnu Umar, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang berperang di
jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah
memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka
meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
2. Dari Ibnu Umar :
“Adapun keluarmu dari
rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Allah
catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di
Arafah maka pada saat itu Allah turun ke langit dunia lalu Allah
bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.
Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut
berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa
takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai
mereka pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki
dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia
atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Allah bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan
simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut
yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka
engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim
ibumu” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Kabir no 1339o. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ no. 1360)
Ya Allah, semoga Engkau
berkenan menghadirkan kami ke Mekah, Arafah dan Madinah, dan berikanlah kami
(pahala) haji mabrur, dan ridhailah kami, ampunilah kami, dan sayangilah kami.
Engkaulah kekasih kami, maka tolonglah kami atas golongan orang yang kafir
Mengenai haji mabrur, Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya
lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji
mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)
Dari ‘Aisyah—ummul
Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, kami
memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami
harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
Dari Abu Hurairah, ia
berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
““Siapa yang berhaji ke
Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia
pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari
no. 1521).
Ibnu Hajar Asy Syafi’i
rahimahullah mengatakan, “Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut
terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa.”[1]
Ibnu Rajab Al Hambali
rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan
tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy
Sya’tsa’ berkata, ‘Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam
shalat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula
dengan puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini
menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol’.”[2]
Pengertian Haji Mabrur
Ibnu Kholawaih
mendefinikan haji mabrur sebagai berikut:
“Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang
lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan
dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.[3]
Para pakar fiqh
mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori
dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan Al
Faro’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi
bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi.
Haji mabrur menurut Al
Hasan Al Bashri rahimahullah, beliau mengatakan, “Haji mabrur adalah jika
sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”
Haji mabrur menurut Al
Qurthubi rahimahullah, beliau menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak
dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat
setelah pulang haji.”[4]
An Nawawi rahimahullah
berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur
adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang
bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang
diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan
menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan
diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur
adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’. Ulama yang lain berpendapat
bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat
yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.”[5]
Jika telah dipahami apa
yang dimaksudkan dengan haji mabrur, maka orang yang berhasil menggapai
predikat tersebut akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan haji mabrur tidak
ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim
no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada
balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup
jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk
masuk surga.”[6]
Di antara bukti dari haji
mabrur adalah gemar berbuat baik terhadap sesama. Dari Jabir, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang
mabrur. Jawaban beliau,
“Suka bersedekah dengan
bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR. Hakim no. 1778.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jaami’ no.
2819).
Demikianlah kriteria haji
mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan
ikhlas dan bukan atas dasar riya’, hanya ingin mencari pujian, seperti ingin
disebut “Pak Haji”. Ketika melakukan haji pun menempuh jalan yang benar, bukan
dengan berbuat curang atau menggunakan harta yang haram, dan ketika melakukan
manasik haji pun harus menjauhi maksiat, ini juga termasuk kriteria mabrur.
Begitu pula disebut mabrur adalah sesudah menunaikan haji tidak hobi lagi
berbuat maksiat dan berusaha menjadi yang lebih baik. Sehingga menjadi tanda
tanya besar jika seseorang selepas haji malah masih memelihara maksiat yang
dulu sering ia lakukan, seperti seringnya bolong shalat lima waktu, masih
senang mengisap rokok atau malah masih senang berkumpul untuk berjudi. Jika
demikian keadaannya, maka sungguh sia-sia haji yang ia lakukan. Biaya puluhan
juta dan tenaga yang terkuras selama haji, jadi sia-sia belaka.
Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dari-Nya. Oleh karenanya, senantiasalah memohon kepada Allah
agar kita yang telah berhaji dimudahkan untuk meraih predikat haji mabrur. Yang
tentu saja ini butuh usaha, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah agar
tetap taat dan menjauhi maksiat. Semoga Allah menganugerahi kita haji yang
mabrur. Amin Yaa Mujibas Saailin.
http://ibadahhajidanumrah.tohasyahputra.com/haji-mabrur.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar