Minggu, 06 Februari 2022

PEMBAHASAN MENGENAI NIAT

 

1. Setiap amal tergantung pada niatnya

 عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ” إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ” متفق عليه


Artinya:

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”.

[Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]

 

2. Beberapa ibadah mahdhoh, Rukun-nya diawali dengan Niyat, seperti : Shalat, wudhu, mandi janabat, shaum


Ada 2 mazhab yang berkaitan dengan niyat ini : 

a. Niyat dibaca secara zhohir (terucapkan lisan), meskipun hanya terdengar oleh diri sendiri.

b. Niyat tidak diucapkan oleh lisan, hanya di hati saja. Maksudnya, misal minum susu dengan niyat, karena ingin sehat, maka tidak perlu diucapkan, asalkan niyat kita sejujurnya memang seperti itu. Jadi kita niyat shalat, karena ridho Allah SWT, tidak perlu diucapkan, asalkan memang niyat kita seperti itu.

Nah, diantara 2 pendapat besar ini, mana yang paling utama.

- Beberapa ibadah itu memang perlu diucapkan oleh lisan, meskipun hanya terdengar oleh diri sendiri, seperti bacaan-bacaan dalam Shalat, yaitu membaca al-Fatihah, membaca bacaan rukuk, dll. Membaca dzikir di dalam perjalanan. 

Sehingga beberapa ulama, mensyaratkan dalam hal kita sudah mengucapkan hal-hal diatas, ditandai dengan lidah kita bergerak.

Salah satu kelebihannya adalah lebih mantap, sehingga hati kita pun akhirnya menjadi lebih mantap juga.


- M

- Mengenai bacaan persisnya tidak ada syarat bacaan yg sebenarnya sesuai hadits, karena utk membacanya saja, ini banyak perbedaan. Sehingga bacaan niyat bebas.

Kita tidak tahu secara pasti bacaan niyat dari Rasulullah, karena tentu saja bacaannya tidak akan terdengar.

- Ada beberapa mazhab, merasa waswas apakah dia sudah berniat dengan baik atau belum, sehingga mengulang-ulang dalam memulai shalatnya. Ini sebenarnya tidak perlu juga, karena waswas itu adalah bisikan syetan. Kita harus meyakininya, bahkan apabila bingung sudah berapa rakaat, kita harus menyakini kita sudah di rakaat ke berapa.


Tapi memang betul, seandainya tidak kita ucapkan dengan lisan, kita tidak tahu persis, apakah kita sudah berniat atau belum.


Lantas, apakah ibadah-ibadah lainnya perlu membaca niyat, contohnya membaca Quran, takziyah. Karena kalau seyogyanya suatu ibadah memerlukan niyat, tentunya ibadah lain juga perlakuannya sama.


Ternyata hanya beberapa ibadah tertentu yang rukunnya, dengan tegas dimulai oleh niyat, sesuai dengan kitab FIQH SUNNAH oleh Sayyid Sabiq. Nanti akan kita uraikan ibadah-ibadah apa saja yang memerlukan ketegasan niyat.

Contoh Rukun Shalat dalam kitab tsb :

1. Niyat

2. Takbiratul Ihram

3. ... dst


Dalam kitab Ighatsah al-Lahfan, Ibnu Qoyyim berkata, “Arti niyat adalah menyengaja dan berkeinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu. Niyat terletak dalam hati, dan ia tidak ada hubungan sama sekali dengan lisan”.


Akan tetapi suatu fakta yang kita dapati adalah :

- Akan sulit dikatakan apakah kita sudah berniat atau belum apabila kita belum mengucapkan atau melafalkan dengan lisan.

- Yang namanya hukum, apalagi hukum Fiqh, maka harus definitif atau kuantitatif karena itu akan memudahkan dalam pelaksanaan seperti contohnya :

a. Mulai waktu shalat Shubuh adalah terbit fajar, sehingga akan bisa dibedakan benang merah dan benang putih.

b. Waktu Shalat Isya dimulai ketika merah-merah di langit sudah hilang, tidak dikatakan mulai waktu shalat Isya adalah malam hari.

c. Dzikir tasbih setelah shalat Isya adalah 33 x, tidak dikatakan dengan jumlah yang banyak (tidak jelas).


Kesimpulannya : menurut saya niyat perlu dilafalkan dengan lisan


Beberapa Ibadah yang diawali dengan niyat dalam kitab Fiqh Sunnah:

- Wudhu

- Mandi (baik mandi Sunnah atau mandi janabat). Kalau mandi biasa tidak perlu niyat, karena bukan ibadah mahdhah.

- Shalat

- Shaum

- Haji dan Umroh

- I’tikaf

- Thawaf

Rabu, 22 April 2020

Indahnya Berbagi


"HALAL BUAT KAMI, HARAM BUAT TUAN..."
.
Abdullah Bin Al-Mubarak Al Hanzhali Al Marwazi seorang ulama hadits yang sangat zuhud dari Merv, Khurasan menceritakan riwayat ini.

Suatu ketika, setelah selesai menjalankan ibadah haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit. Ia mendengar percakapan mereka :

“Berapa banyak yang datang tahun ini?”
tanya malaikat kepada malaikat lainnya.
“Enam ratus ribu,” jawab malaikat lainnya.
“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”
“Tidak satupun”.
Percakapan ini membuat Abdullah gemetar.
“Apa?”
Ia pun menangis dalam mimpinya.
“Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”
Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar cerita kedua malaikat itu.
“Namun ada seorang ............,
yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia seluruh haji mereka diterima oleh Allah.”
“Kok bisa”
“Itu Kehendak Allah”
“Siapa orang tersebut?”
“Sa’id bin Muhafah tukang sol sepatu di kota  Damaskus, di negeri Syam.
Mendengar percakapan tersebut, Abdullah bin Mubarok langsung terbangun, Sepulang haji, ia tidak langsung pulang Khurasan, tapi langsung menuju kota Damaskus, di negeri Syam.
Sampai disana ia langsung mencari tukang sol sepatu yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu ditanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namanya Sa’id bin Muhafah.
“Ada, di tepi kota”
Jawab salah seorang sol sepatu sambil menunjuk-kan arahnya. Sesampai disana, Abdullah bin Mubarok menemukan seorang tukang sol sepatu yang berpakaian lusuh,
“Benarkah anda bernama Sa’id bin Muhafah?” tanya Abdullah bin Mubarok.
“Betul, siapa tuan?”
“Aku Abdullah bin Mubarak”
Said pun terharu, "Tuan adalah ulama terkenal, ada apa mendatangi saya?”
Sejenak Abdullah bin Mubarok kebingungan, dari mana ia memulai pertanyaanya, akhirnya ia pun menceritakan perihal mimpinya.
“Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur?”
“Wah saya sendiri tidak tahu!”
“Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini.....
Maka Sa’id bin Muhafah pun bercerita.
“Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar lantunan dia dari jama'ah haji:
Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syarika laka.
"Ya Allah, aku datang karena panggilanMu.
Tiada sekutu bagiMu.
Segala ni’mat dan puji adalah kepunyaanMu dan kekuasaanMu. Tiada sekutu bagiMu."
Setiap kali aku mendengar itu, aku selalu menangis
Ya allah aku rindu Mekah.
Ya Allah aku rindu melihat kabah.
Ijinkan aku datang…..
Ijinkan aku datang ya Allah..
Oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai tukang sol sepatu.
Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Akhirnya pada tahun ini, saya punya 350 dirham, cukup untuk saya berhaji.
“Saya sudah siap berhaji”
“Tapi anda batal berangkat haji”
“Benar”
“Apa yang terjadi?”
“Istri saya hamil, dan sering ngidam.
Waktu saya hendak berangkat saat itu dia ngidam berat”
“Suamiku, apakah engkau mencium bau masakan yang nikmat ini?
“Ya sayang”
“Cobalah kau cari, siapa yang masak sehingga baunya nikmat begini.
Mintalah sedikit untukku”
"Tuan, sayapun mencari sumber bau masakan itu.
Ternyata berasal dari gubuk yang hampir runtuh. Disitu ada seorang janda dan enam anaknya.
Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit.
Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya.
Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan :
“tidak boleh tuan”
“Dijual berapapun akan saya beli”
“Makanan itu tidak dijual, tuan” katanya sambil berlinang mata.
Akhirnya saya tanya kenapa?
Sambil menangis, janda itu berkata “daging ini halal untuk kami dan haram untuk tuan” katanya.
Dalam hati saya:
Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama muslim?
Karena itu saya mendesaknya lagi “Kenapa?”
“Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Dirumah tidak ada makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak.
“Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun bagi Tuan, daging ini haram".
Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang.
Saya ceritakan kejadian itu pada istriku, diapun menangis, kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu.
“Ini masakan untuk mu”
Uang peruntukan Haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka.
”Pakailah uang ini untuk mu sekeluarga.
Gunakan untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi”
Ya Alloh………disinilah Hajiku
Ya Alloh……… disinilah Mekahku.
Mendengar cerita tersebut Abdullah bin Mubarak
tak bisa menahan air mata....

Senin, 12 Februari 2018

Urgensi Menuntut Ilmu


Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap Ilmu. Islam menyeru, mendorong bahkan memerintahkan umatnya untuk menjadi orang-orang berilmu (ulil albab). Dalam hadits Rasulullah saw bersabda:

Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.” (Shohih Aljami’ash Shoghir no. 3913,3914).

Allah memberikan kedudukan kepada orang-orang berilmu. Dalam surat Al-Mujadilah : 11,
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Katakanlah, ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az Zumar : 9)

Dalam hadits Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya hikmah (ilmu) itu menambah kemuliaan dan mengangkat hamba sahaya sehingga mencapai yang dicapai raja-raja.” (HR. Abu Na’im)
Sesungguhnya matinya suatu kabilah lebih ringan dari pada matinya seorang ‘alim.” (HR. Thabrani)

Apabila seorang manusia meninggal terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: Shodaqoh jariyah, Ilmu bermanfaat dan anak sholeh yang mendo’akan.” (HR. Muslim)

Sesungguhnya keutamaan orang alim atas abid (ahli ibadah) seperti kelebihan cahaya rembulan dari seluruh bintang-bintang.” (HR. Ahmad)

Keutamaan seorang alim atas seorang abid seperti kelebihanku atas orang yang paling rendah diantara kalian.” (Shohih jami’ash shoghir no : 4213)

Hasan Al Bashri berkata :
Seorang aktivis tanpa ilmu seperti orang yang berjalan tidak pada jalannya, dan yang beramal tanpa ilmu lebih banyak tindakan destruktifnya ketimbang memperbaiki...” (Miftahu daris sa’adah 1/82-83)

Tentunya ilmu disini yang terutama adalah ilmu agama. Karena sesuai dengan tujuan manusia diciptakan oleh Allah SWT, yaitu untuk beribadah.
Rasulullah saw bersabda:
Siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya, niscaya Allah menjadikannya bertafaquhfiddin (memperdalam ajaran diennya).” (HR. Bukhari wa Muslim)

Abu Tholib Al-Makki berkata:
Bahwa yang dimaksud (ilmu) wajib disini adalah ilmu yang terkandung oleh hadis yang didalamnya terdapat bangunan Islam.”

Syaikh Abul ‘Izzi Al Hanafi berkata :
Ilmu yang paling mulia adalah ilmu Ushuluddin (pokok-pokok agama) karena tolok ukur mulianya sebuah ilmu tergantung pada kemuliaan yang mesti diilmui. Kebutuhan manusia kepada ilmu ini diatas kebutuhan penting lainnya, karena tiada hakikat hidup bagi hati dan tiada kenikmatan dan ketentraman kecuali apabila dia mengenal Rob-nya, sesembahan dan penciptanya, lengkap dengan asma, sifat serta perbuatan-perbuatan (Rububiyah) Nya.”

Sehingga dengan ilmu ini, seorang hamba memiliki petunjuk untuk beribadah secara benar. Kemudian dapat menilai benar salah atau halal haram suatu perbuatan. Sehingga sangatlah aneh orang yang tidak pernah menuntut ilmu berkata mengenai agama seolah-olah lebih ahli dari yang menuntut ilmu.
Wallahu a’lam bishowab.

Sumber : Buletin Al-Furqon Vol. 3/2007