Selasa, 28 Oktober 2014

ADAB ISTIRAHAT


1. Tidak tidur terlalu malam
  • Tidak tidur terlalu malam setelah sholat isya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengulang (muroja’ah) ilmu atau adanya tamu atau menemani keluarga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Barzah radhiyallahu ‘anhu

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘allaihi wasallam membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya” [Hadist Riwayat Al-Bukhari No. 568 dan Muslim No. 647 (235)]

2. Tidur disunnahkan berwudhu
“Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat”  (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710)

3. Tidur, miring ke kanan
“Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu”  (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila tidur meletakkan tangan kanannya di bawah pipi kanannya”  (HR. Abu Dawud no. 5045, At Tirmidzi No. 3395, Ibnu Majah No. 3877 dan Ibnu Hibban No. 2350)

4. Tidak boleh tidur tengkurap
“Sesungguhnya (posisi tidur tengkurap) itu adalah posisi tidur yang dimurkai Allah Azza Wa Jalla”  (HR. Abu Dawud dengan sanad yang shohih)

5. Membaca doa tidur
“Bismikarabbii wa dho’tu jambii wa bika arfa’uhu in amsakta nafsii farhamhaa wa in arsaltahaa fahfazhhaa bimaa tahfazha bihi ‘ibaadakasshaalihiin”

“Dengan Nama-Mu, ya Rabb-ku, aku meletakkan lambungku. Dan dengan Nama-Mu pula aku bangun daripadanya. Apabila Engkau menahan rohku (mati), maka berilah rahmat padanya. Tapi apabila Engkau melepaskannya, maka peliharalah, sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih”  (HR. Al-Bukhari No. 6320, Muslim No. 2714, Abu Dawud No. 5050 dan At-Tirmidzi No. 3401)

5. Pada waktu menjelang tidur malam, membaca sbb:
a. Ayat Kursi
Seseorang berkata, “Jika kamu hendak berbaring di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al-Kursi karena dengannya kamu selalu dijaga oleh Allah Ta’ala dan syetan tidak akan dapat mendekatimu sampai pagi“. Mengomentari hal itu, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Benar apa yang dikatakannya, padahal dia itu pendusta. Dia itu syetan“. (HR. Bukhari).
b. Surat Al-Ikhlash – An-Naas 3 x.
“Nabi Saw ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (QS Al-Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (QS Al-Falaq), dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (QS An-Naas). Lalu beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari).

6. Membersihkan tempat tidur sebelum tidur
“Jika salah seorang di antara kalian akan tidur, hendaklah mengambil potongan kain dan mengibaskan tempat tidurnya dengan kain tersebut sambil mengucapkan ‘bismillah’, karena ia tidak tahu apa yang terjadi sepeninggalnya tadi”  (HR. Al Bukhari No. 6320, Muslim No. 2714, At-Tirmidzi No. 3401 dan Abu Dawud No. 5050)

7. Membaca doa setelah bangun tidur
“Alhamdulillahilladzii ahyaanaa ba’damaa amaatanaa wa ilayhinnusyuur”

“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah ditidurkan-Nya dan kepada-Nya kami dibangkitkan”  (HR. Al-Bukhari No. 6312 dan Muslim No. 2711)

8. Setelah bangun malam, disunnahkan bersiwak
“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bangun malam membersihkan mulutnya dengan bersiwak.” (HR. Al Bukhari No. 245 dan Muslim No. 255)

9. Anak laki-laki dan perempuan hendaknya dipisahkan tempat tidurnya setelah berumur 6 tahun. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi)

10. Jika bermimpi buruk, jangan sekali-kali menceritakannya pada siapapun kemudian meludah ke kiri tiga kali (diriwayatkan Muslim IV/1772), dan memohon perlindungan kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk dan dari keburukan mimpi yang dilihat. (Itu dilakukan sebanyak tiga kali) (diriwayatkan Muslim IV/1772-1773). Hendaknya berpindah posisi tidurnya dari sisi sebelumnya. (diriwayatkan Muslim IV/1773). Atau bangun dan shalat bila mau. (diriwayatkan Muslim IV/1773).

11. Tidak diperbolehkan bagi laki-laki tidur berdua (begitu juga wanita) dalam satu selimut. (HR. Muslim)

12. Disunnahkan tidur siang
 “Qailulah-lah (istirahat sianglah) kalian, sesungguhnya setan-setan itu tidak pernah istirahat siang.” (HR. Abu Nu’aim dalam Ath-Thibb, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1637: isnadnya shahih)
Pernah suatu ketika ada orang-orang Quraisy yang duduk di depan pintu Ibnu Mas’ud. Ketika tengah hari, Ibnu Mas’ud mengatakan, “Bangkitlah kalian (untuk istirahat siang, pent.)! Yang tertinggal hanyalah bagian untuk setan.” Kemudian tidaklah Umar melewati seorang pun kecuali menyuruhnya bangkit.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.1238, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 939: hasanul isnad)

13. Istirahat hati/rihlah

"Hiburlah hati suatu ketika karena jika ia dipaksa terus-menerus terhadap sesuatu maka ia akan menjadi buta..." (Ali bin Abi Thalib)

Kamis, 23 Oktober 2014

PEMIMPIN YG DITAATI MUTLAK SECARA SYAR’I


1. Imam Shalat (hanya ketika adzan, iqomat, dan shalat)
2. Khotib Shalat Jumat, atau Shalat Ied (hanya ketika kutbah Jumat, atau Ied)
3. Pemimpin jamaah atas anggota jamaah. Jamaah yg menegakkan khilafah/syariat islam (selama belum ada khilafah)
4. Orang tua atas anak-anaknya (dalam keluarga islami, dalam satu rumah).
5. Suami atas istri (dalam keluarga islami).
6. Raja Arab Saudi, ketika berkunjung ke Arab Saudi (pemimpin yg menegakkan hukum syariat).
7. Atasan atas karyawan di perusahaan syariah.
8. Pimpinan KBIH Swasta atas jamaah Umroh, ketika pergi Umroh.
9. Tuan rumah atas tamu, ketika bertamu ke keluarga islami.
10. Manajemen atas pasien yang dirawat di rumah sakit syariah.
11. Ketua DKM atas jamaah, selama di dalam lingkungan mesjid.

Minggu, 19 Oktober 2014

Amalan Berpahala Haji


Setiap muslim pasti berobsesi dapat menunaikan ibadah haji. Namun, tidak semuanya dikabulkan oleh Allah untuk menjadi tamu-Nya di Tanah Suci. Bagi yang belum ditakdirkan beribadah haji tahun ini, tidak perlu kecewa dan putus asa. Sebab, ternyata ia masih berpeluang besar untuk mendapatkan pahala haji. Rasulullah SAW telah memberikan berita gembira tentang beberapa amal salih yang berpahala haji, di antaranya:

Pertama: Melaksanakan shalat fardhu berjama'ah di masjid. Dari Abi Umamah RA, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang berjalan menuju shalat fardhu berjama'ah, maka ia seperti haji. Dan barangsiapa yang berjalan menuju shalat sunnah, maka ia seperti umrah sunnah" (HR Ath Thabrani dalam Al Mu'jam Al Kabir, no. 7578 dan dihasankan oleh Syekh Al Albani).

Kedua: Birru' l Walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua). Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, seorang laki-laki pernah datang menemui Rasulullah SAW, lalu ia mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin sekali berjihad, tetapi aku tidak memiliki kemampuan untuk itu". Rasulullah SAW lalu bertanya kepadanya, "Apakah masih ada yang hidup di antara kedua orang tuamu?" Lelaki itu menjawab, "Ibuku". Rasul pun kemudian mengatakan kepadanya, "Bertakwalah kepada Allah dengan berbuat baik kepad ibumu. Sebab, jika engkau melakukan itu, maka engkau adalah jama'ah haji, umrah dan mujahid (orang yang berjihad)" (HR Ath Thabrani dalam Al Mu'jam Al Ausath, no. 2915).

Ketiga: Menghadiri majlis ilmu di masjid, sebagaimana sabda Nabi SAW, "Barangsiapa yang pergi ke masjid, ia tidak menginginkan hal itu kecuali untuk belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka ia mendapat pahala seperti pahala orang yang menunaikan ibadah haji, sempurna hajinya" (HR Ath Thabrani dalam Al Mu'jam Al Kabir, no. 7473). Keempat: Menunaikan umrah di bulan Ramadhan. Dari Ibnu Abbas RA,  sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Melaksanakan umrah di bulan Ramadhan itu (berpahala) seperti haji atau (seperti) haji bersamaku" (Muttafaqun 'Alaihi; Bukhari no. 1782, 1863, Muslim no. 3097). Kelima: Duduk di masjid setelah shalat subuh berjama'ah untuk berdzikir lalu shalat dua raka'at setelah matahari terbit, yakni waktu syuruq. Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa shalat subuh berjama'ah, kemudian ia duduk (menunggu)  sambil berdzikir hingga terbit matahari, lalu ia melaksanakan shalat dua raka'at, maka baginya pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna" (HR Tirmidzi no. 589 dan dihasankan oleh Syekh Al Albani). Keenam: Berdzikir setelah shalat. Dari Abu Hurairah RA, ia bercerita, Dari Abu Hurairah RA, bahwasanya orang-orang fakir dari kaum Muhajirin pernah mendatangi Rasulullah SAW, lalu mengadu, "Orang-orang kaya pergi membawa derajat yang tinggi dan tempat yang bergelimang nikmat. Nabi bertanya, "Apa itu?" Mereka berkata; Mereka shalat sama seperti kami shalat, dan mereka berpuasa sama seperti kami berpuasa, hanya saja (bedanya) mereka memiliki kelebihan harta sehingga mereka bisa menunaikan ibadah haji, umrah, berjihad dan bersedekah (dengan hartanya sementara kami tidak bisa karena miskin). Lalu beliau bersabda,"Apakah kalian ingin aku ajari sesuatu yang (jika kalian amalkan) kalian dapat mengungguli orang-orang yang mendahului kalian, dan mengalahkan orang-orang setelah generasi kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama dari kalian, kecuali orang yang mengamalkan hal yang sama seperti yang kalian amalkan?" Mereka menjawab, "Ya, wahai Rasulullah". Beliau bersabda, "Kalian bertasbih, bertahmid dan bertakbir setiap selesai shalat (masing-masing) sebanyak 33 kali" (Muttafaqun 'Alaihi; Bukhari no. 843 dan Muslim no. 1375).
Semoga dengan mengamalkan amalan-amalan di atas, bisa menjadi pembuka jalan menuju Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji yang hakiki. Allahumma Amin ...

Minggu, 05 Oktober 2014

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN DALAM ISLAM


Kewajiban agama tdk sama dgn kewajiban organisasi, institusi, jamaah, dlsb.
1. Syahadat.
Min sekali seumur hidup.
2. Shalat.
3. Shaum Ramadhan
4. Zakat.
Meliputi: Zakat Fitrah, Mal, Pertanian, Peternakan, Rikaz, atau yg khilafiah: Profesi, Perusahaan.
5. Haji bila memiliki dana yg mencukupi dan fisik yang cukup kuat.
Haji termasuk kewajiban yg bisa ditunda.
6. Menjawab salam.
7. Berjihad di jalan Allah.
Jihad adalah berperang di jalan Allah menegakkan kalimatullah.
8. Menegakkan hukum hudud.
Seperti: hukum potong tangan bagi pencuri, rajam utk pezina belum menikah, qishosh, dll.
9. Warisan sesuai syariat.
10. Menjauhi hal-hal yg diharamkan Allah SWT.
11. Menikah sesuai syariat.
Kalau tidak sesuai syariat, maka termasuk kategori berzina.
12. Memenuhi undangan hajatan seorang muslim.
13. Berdakwah amar ma’ruf nahi munkar.
14.  Menuntut ilmu islam.
”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr)
15. Membaca quran sesuai tajwid.
Membaca quran itu sunnah, tapi membacanya sesuai tajwid adalah fardhu ain.
16. Mempelajari bahasa Arab.
17. Kewajiban yg terjadi, tanpa kehadirannya maka kewajiban sesungguhnya tdk bisa terlaksana.
Misal: wudhu itu sunnah, namun karena kalau sholat tanpa wudhu tidak bisa, sedangkan shalat itu wajib, maka sesungguhnya wudhu utk shalat pun menjadi wajib.
17. Berlatih jihad, mempersiapkan jihad.
Berjihad itu wajib, sehingga mempersiapkan jihad juga menjadi wajib.
18. Memenuhi janji.
19. Menyampaikan amanat.
Misal: ada orang menitipkan surat, maka yg dititipkan tsb wajib menyampaikannya.
20. Fardhu kifayah.
Kewajiban yg apabila sudah dikerjakan muslim yg lain, maka kewajibannya menjadi gugur.
Misal : Shalat jenazah, menjadi dokter., dll.

21. Memberikan nafkah utk keluarga (bagi suami).
22. Memberikan gaji/upah kepada org yg bekerja utknya.
23. Melaksanakan pekerjaannya dgn baik (bagi pekerja).
24. Shalat Jumat (bagi laki-laki)

25. Memenuhi kebutuhan orang tua/dan kerabatnya (fardhu kifayah).

26. Memenuhi panggilan dan perintahnya (kalau satu rumah).
Anak menaati orang tuanya.
27. Istri menaati suami.
28. Taat kepada pemerintah yg menegakkan syariat Islam.
29. Amalan yg mendekati wajib (sunnah muakkadah).
Misal: Shalat berjamaah di masjid.
30. Menyembelih hewan utk makan sesuai syariat.



Kamis, 02 Oktober 2014

Keutamaan Haji Mabrur


Rasulullah Saw. bersabda:

“Umrah ke umrah menghapus dosa antara keduanya, dan tidak ada pahala bagi haji mabur kecuali surga.” (Muttafaq Alaihi)

Dari Aisyah r.a., ia berkata, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, menurut kami jihad adalah amal perbuatan yang paling utama. Bolehkah kami terus-menerus berjihad?’ Kemudian beliau bersabda, ‘Tetapi jihad yang paling utama adalah haji mabrur.” (HR. Bukhari)

Abu Hurairah r.a. berkata, “Nabi ditanya, ‘Amal apakah yang lebih utama?’ Beliau bersabda, ‘Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Ditanyakan, ‘Kemudian apa?’ Beliau bersabda, ‘Berjuang di jalan Allah.’ Ditanyakan, ‘Kemudian apa?’ Beliau bersabda, ‘Haji yang mabrur.” (HR. Bukhari)

Ibadah haji adalah ibadah yang berat. Tidak semua orang Islam mampu mengerjakannya. Di samping membutuhkan biaya yang tidak sedikit, juga dibutuhkan kemampuan fisik atau kesehatan yang baik. Itulah kenapa haji yang mabrur termasuk jihad yang paling utama. Meskipun berat, setiap orang Islam harus mempunyai niat dan cita-cita untuk bisa mengerjakan ibadah haji. Sebab, di samping merupakan rukun Islam, mengerjakan ibadah haji juga besar sekali pahalanya. Bagi orang yang hajinya mabrur akan dicatat termasuk orang yang telah mengerjakan amal yang lebih utama dan tiada balasan baginya kecuali surga.

Orang yang ketika mengerjakan haji tidak berkata kotor dan tidak berbuat maksiat, maka dosa-dosanya diampuni, sehingga ketika kembali ia seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya, yakni tanpa dosa. Hal ini sebagaimana Rasulullah Saw. telah bersabda, “Barangsiapa datang (haji) ke Baitullah ini lalu tidak berbicara kotor dan tidak berbuat maksiat, maka ia akan kembali seperti ketika dilahirkan oleh ibunya.” Hadits ini ada dalam Shahih Muslim.

Menurut Imam Nawawi, tanda-tanda haji mabrur adalah bahwa sepulang dari haji, orang tersebut menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi lagi perbuatan-perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya.
****

Rabu, 03 September 2014

Keutamaan Haji dan Umrah

1. Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
2. Dari Ibnu Umar :
“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Allah catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Allah turun ke langit dunia lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Allah bersihkan.
Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Kabir no 1339o. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ no. 1360)
3. Doa Haji Mabrur

Ya Allah, semoga Engkau berkenan menghadirkan kami ke Mekah, Arafah dan Madinah, dan berikanlah kami (pahala) haji mabrur, dan ridhailah kami, ampunilah kami, dan sayangilah kami. Engkaulah kekasih kami, maka tolonglah kami atas golongan orang yang kafir

Mengenai haji mabrur, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)

Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
““Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).

Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa.”[1]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, ‘Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol’.”[2]


Pengertian Haji Mabrur

Ibnu Kholawaih mendefinikan haji mabrur sebagai berikut:  “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.[3]

Para pakar fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan Al Faro’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi.

Haji mabrur menurut Al Hasan Al Bashri rahimahullah, beliau mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”

Haji mabrur menurut Al Qurthubi rahimahullah, beliau menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.”[4]

An Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’. Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.”[5]

Jika telah dipahami apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, maka orang yang berhasil menggapai predikat tersebut akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.”[6]

Di antara bukti dari haji mabrur adalah gemar berbuat baik terhadap sesama. Dari Jabir, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur. Jawaban beliau,

“Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR. Hakim no. 1778. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jaami’ no. 2819).

Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya’, hanya ingin mencari pujian, seperti ingin disebut “Pak Haji”. Ketika melakukan haji pun menempuh jalan yang benar, bukan dengan berbuat curang atau menggunakan harta yang haram, dan ketika melakukan manasik haji pun harus menjauhi maksiat, ini juga termasuk kriteria mabrur. Begitu pula disebut mabrur adalah sesudah menunaikan haji tidak hobi lagi berbuat maksiat dan berusaha menjadi yang lebih baik. Sehingga menjadi tanda tanya besar jika seseorang selepas haji malah masih memelihara maksiat yang dulu sering ia lakukan, seperti seringnya bolong shalat lima waktu, masih senang mengisap rokok atau malah masih senang berkumpul untuk berjudi. Jika demikian keadaannya, maka sungguh sia-sia haji yang ia lakukan. Biaya puluhan juta dan tenaga yang terkuras selama haji, jadi sia-sia belaka.

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. Oleh karenanya, senantiasalah memohon kepada Allah agar kita yang telah berhaji dimudahkan untuk meraih predikat haji mabrur. Yang tentu saja ini butuh usaha, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah agar tetap taat dan menjauhi maksiat. Semoga Allah menganugerahi kita haji yang mabrur. Amin Yaa Mujibas Saailin.

Sumber :
http://ibadahhajidanumrah.tohasyahputra.com/haji-mabrur.htm

Minggu, 31 Agustus 2014

Hukum Kartu Kredit

Diantara yg disepakati para ulama, kartu kredit yg bersifat mengutangkan sejumlah uang kemudian dikembalikan dengan bunga lantaran keterlambatan pembayaran adalah haram karena termasuk riba yang jelas-jelas dilarang dalam al-Quran.
Sebagian kalangan mengatakan, bila kita sanggup membayar tagihan kartu kredit sebelum jatuh tempo, maka itu sah dan kita boleh menggunakannya dalam bertransaksi. Alasannya, kita sudah selamat dari riba, karena membayr tepat waktu, sehingga terhindar dari denda bunga.
Dalilnya adalah hadits dari Aisyah ra yang membeli budak wanita bernama Barirah. Pemiliknya bersedia menjual dengan syarat hak wala' tetap ada pada mereka. Syarat ini tidak diperbolehkan oleh Rasulullah saw, tetap beliau tetap mengatakan kpd Aisyah ra, "Belilah dia dan iyakan saja syarat itu, tapi hak wala' tetap ada kpd yang memerdekakan." Rasulullah saw menyatakan teruskan saja jual belinya dengan syarat tersebut, tapi nanti secara perdata hak wala' tetap berada di tangan Aisyah ra, krn persyaratan yg diajukan penjual dianggap batal secara otomatis, sehingga tidak perlu dihiraukan.
Dari hadits ini sebagian ulama yg membolehkan penggunaan kartu kredit mengambil kesimpulan bahwa transaksi kartu ini tetap sah, dengan tidak membayar bunganya, krn persyaratan adanya bunga bila terlambat membayar otomatis batal karena ia membayar sebelum jatuh tempo sehingga tdk perlu dihiraukan.
Akan tetapi, beberapa ulama kontemporer menganggap penggunaan kartu kredit dlm kondisi tdk mendesak tetap haram, krn kita sudah menyepakati suatu perjanjian dosa dgn pihak bank penerbitnya, yaitu kesepakatan utk membayar bunga bila terlambat.
Kesannya, kita seolah mengiyakan dosa riba yg dilarang dalam Al-Quran (QS Al-Maidah:2). Sepertinya para ulama ini menganggap masalah akad kartu kredit berbeda dengan kasus pembelian budak dengan syarat rusak seperti yg dilakukan Aisyah ra.
Asosiasi Ulama Fiqh Internasional yg tergabung dalam organisasi Muktamar Alam Islami telah mengadakan rapat di Riyadh dari tgl 23-28 Sept 2000. Salah satu keputusannya adalah kep no. 5/6/1/7 yang salah satu butirnya mengharamkan pemakaian kartu kredit yg ada syarat pembayaran bunga di dalamnya, meskipun si pemakai kartu yakin bahwa dia bisa membayar tepat waktu sehingga terhindar dari bunga.
Selain itu, fatwa resmi Komisi Tetap utk Fatwa dan Bimbingan Islam Kerajaan Arab Saudi juga mengharamkan bentuk transaksi kartu yg disyaratkan didalamnya bunga bila tdk mampu membayar sesuai tempo.
Secara ekonomi, penggunaan kartu kredit juga tidak dianjurkan. krn bisa menstimulasi keinginan menjadi konsumtif, shg terdorong utk membeli barang demi melihat adanya kemudahan membeli tanpa uang tunai dg harapan bisa dibayar di lain waktu. Akhirnya, betapa banyak orang yg terjerembab ke jurang hutang dan tidak sanggup membayar tagihan kartu kreditnya sehingga harus berurusan dengan debt collector. Dengan demikian dalam keadaan normal kartu kredit lebih banyak mudharat daripada manfaatnya.
Saran kami, hindari penggunaan kartu kredit bila bukan dalam keadaan darurat. Keadaan darurat terjadi ketika tak ada jalan lain untuk mendapatkan sesuatu yg hidup Anda bergantung padanya. Itupun harus membayar tagihan kartu sebelum masa bunga atau denda berlaku. Namun bila hanya sekedar membeli barang dengan tingkat kebutuhan sekunder maka tidak perlu menggunakan kartu kredit.

Ust. Anshari Taslim, L.c.
Dari majalah "Sabiliku"

Selasa, 17 Juni 2014

Keharmonisan Rumah Tangga Dakwah




Ikhwah wal akhawat rahimakumullah
Allah SWT berfirman : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (30: 21)

Ayat di atas menegaskan hakikat dan tujuan pembentukan keluarga, dan Allah menjadikannya sebagai bagian dari tanda-tanda kekuasaannya. Inti dari pembentukan keluarga adalah terjalinnya keluarga yang harmonis -sakinah (ketenangan hidup), mawaddah (saling mencintai) dan rahmah (saling mengasihi), sehingga mendatangkan ridho Allah SWT.

Keluarga merupakan pabrik pencetak generasi, yang dengannya masyarakat yang baik dan shalih akan terbentuk.

Namun kenyataannya, kebanyakan dari keluarga saat ini tidak lagi memainkan peran dan fungsinya dengan baik. Sehingga kalau hari ini kita mendapati banyak pemimpin yang zalim dan tidak amanah, pedagang yang tidak jujur, pendidik yang berakhlak buruk, pemuda yang menyimpang, kaum wanita yang mengumbar aurat, serta berbagai bentuk penyimpangan dalam aqidah dan ibadah; itu merupakan buah yang diperoleh karena telah hilangnya nilai-nilai Islam dalam banyak keluarga muslim.

Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ،
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membentuk dia menjadi Yahudi, Nashrani atau majusi" (HR. Bukhari)

Hadits di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa peran keluarga sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai pada anggotanya. Keluargalah lingkungan pertama yang akan membentuk watak seseorang.

Ikhwan wa akhawat hafidzokumullah
Besarnya ihtimam (perhatian) Islam terhadap kehidupan keluarga menunjukkan pentingnya posisi dan peran keluarga. Islam menghendaki nilai-nilai dan ajaran Islam dapat ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan keluarga.

Setiap muslim yang hendak membentuk sebuah rumah tangga hendaknya memahami dengan benar tujuan berkeluarga. Ia juga harus mengetahui bagaimana proses pembentukan keluarga, termasuk bagaimana memilih pasangan hidup yang akan menemaninya dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

Ikatan keluarga yang dibentuk oleh seorang muslim dan muslimah merupakan ikatan yang penuh dengan keberkahan. Dengannya, keduanya saling menghalalkan. Dengannya pula, keduanya memulai rihlah thawilah (perjalanan panjang), dalam suasana saling mencintai, menyayangi dan menghargai.

Dengan ikatan ini, lahirlah rasa tentram dan tenang serta kebahagiaan hidup yang saling memahami, tolong-menolong dan nasihat-menasehati. Dan dari sinilah, terbentuk sebuah keluarga muslim yang harmonis yang kelak menjadi labinah (batu bata) yang kokoh bagi terbentuknya masyarakat muslim.

Ikhwah wa akhawat ad-daiyah
Sebagai keluarga dakwah, kita adalah cermin bagi keluarga di sekitar kita. Kita adalah teladan bagi keluarga madu di sekeliling kita. Keharmonisan keluarga kita menjadi sorotan utama melebihi pelajaran taklim dan materi dakwah yang kita sampaikan kepada mereka.

Karena itu, perhatikanlah beberapa karakteristik berikut ini yang harus terwujud dalam sebuah keluarga muslim yang harmonis.

Pertama, dirikanlah keluarga di atas landasan Ibadah kepada Allah SWT

Seluruh proses berkeluarga yang dimulai dari niat membentuk keluarga, memilih pasangan, pelaksanaan aqad nikah dan walimah serta seluruh interaksi yang terjadi setelahnya, hendaknya dibingkai dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah dan untuk mengharapkan ridho-Nya. Hindarilah semua perbuatan yang melanggar syariat Allah SWT dan petunjuk Rasulullah SAW. Dengan demikian, berumahtangga bagi seorang mukmin ialah untuk melaksanakan penghambaan diri kepada Allah. Bukan sebaliknya, menghalanginya dari tugas utama tersebut.

Kedua, terapkanlah Islam secara kaaffah dan tegakkan nilai-nilai Al-Quran dan sunnah Rasulullah dalam segala urusan rumah tangga.

Usahakanlah semaksimal mungkin, keluarga yang kita bina adalah laboratorium pertama dan utama dalam penerapan syariat Islam: dalam hubungan antara suami isteri, hubungan orang tua dengan anak-anak, maupun hubungan anggota keluarga dengan kerabat dan masyarakatnya.

Ketiga, hidupkanlah suasana amar maruf nahi munkar dan nasihat menasehati.

Keluarga muslim merupakan keluarga yang di dalamnya berhimpun individu-individu yang berkumpul karena Allah SWT, saling mengajak kepada ketaatan dan ketakwaan kepada-Nya, saling menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang mungkar.

Dari situlah, pembiasaan amar maruf nahi mungkar yang diterapkan dalam keluarga selanjutnya diperluas dan diterapkan kepada tetangga serta masyarakat sekitarnya. Hal ini dilaksanakan sebagai wujud tanggungjawab menebar kebaikan dan menyebarkan nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat.

Keempat, wujudkan suasana kasih sayang dalam keluarga
  
Dalam surah ar-Rum ayat 21, Allah SWT berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri daripada jenismu supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berftkir. "

lbnu Abbas mengatakan, "Mawaddah adalah cinta kasih seorang suami kepada isterinya, dan rahmah adalah kasih sayang seorang suami agar isterinya jangan sampai menderita atau mengalami kesusahan."

Suasana rumahtangga yang dibina di atas dasar cinta dan kasih sayang yang suci ini akan menenteramkan dan memberi ketenangan kepada jiwa. Dalam hal ini tiada contoh yang lebih baik dan tepat daripada rumah tangga Rasuluillah SAW yang dibina bersama dengan Ummul Muminin Khadijah dan Ummahatul Muminin lainnya.

Kelima, bergaullah dalam keluarga atas dasar Al-Muasyaroh bil Maruf
Al-Muasyaroh bil Maruf ialah: Pergaulan dan hidup bersama secara baik yang diridhai Allah. Tidak dikatakan sesuatu itu maruf melainkan ia baik dan diridhai Allah serta jauh pula dari kemungkaran, kemaksiatan, penganiayaan, kedzaliman dan sebagainya.
Karena itu, pergaulan suami isteri hendaklah didasarkan atas tujuan meraih keridhaan Allah, serta semata-mata mengharapkan balasan dari-Nya. Manakala pendidikan dan bimbingan kepada isteri dan keluarga kearah keridhaan Allah menjadi dasar tindakan seorang suami, maka akan terwujudlah keluarga muslim yang diberkahi Allah SWT.
Rasulullah saw. bersabda: "Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku" (HR. urmudzi)

Tapi, bersikap baik dan lemah lembut bukan berarti membiarkan isteri dan keluarga melakukan kemungkaran dan bergelimang dengan dosa dan maksiat, kerena kalau ini yang terjadi berarti kita telah bersikap lalai terhadap tanggungjawab terhadap keluarga.

Enam, bangunlah keluarga dengan tarbiyah Islam
Salah satu ciri penting yang membedakan keluarga muslim dengan  yang bukan ialah pelaksanaan tarbiyah Islam yang benar di dalamnya. Setiap muslim dituntut supaya memberi perhatian serius mengenai perkara itu. Anggota keluarga yang tidak mendapat tarbiyah Islam atau yang lebih parah lagi jika tarbiyah mereka terus terabaikan, mereka bukan saja tidak mampu menyambung perjuangan Islam tetapi mungkin menjadi penghalang perjuangan itu.

Terakhir, ciptakan keteladanan dalam segala hal
Keteladanan sangat diperlukan dalam proses penanaman nilai-nilai Islam di dalam keluarga. Dengan keteladanan, kebaikan akan cepat diikuti dan punya pengaruh kuat bagi anggota keluarga. Seorang anak akan terbiasa melaksanakan adab-adab Islami manakala ia melihat dan mendapati kedua orang tuanya melazimkan dan memberikan contoh adab-adab tersebut dilakukan sejak ia kecil. Keteladanan orang tua akan memberikan suasana kondusif dan menjadi lahan subur bagi proses pendidikan anak.

Bila karekteristik di atas dapat diwujudkan di dalam keluarga-keluarga muslim saat ini, maka hal tersebut tidak hanya membentuk keluarga harmonis, namun juga menjadi peluang untuk melahirkan sebuah generasi ideal yang kita harapakan, bahkan sangat mungkin untuk mewujudkan kembali kejayaan dan kemuliaan dunia Islam yang sesungguhnya, yang merupakan impian panjang kaum muslimin yang belum terwujud sampai saat ini.

Wallahu alam bisshowab

Senin, 16 Juni 2014

FIQH SHIYAM DAN RAMADHAN




-      - Menurut bahasa,  Ramadhan artinya yang membakar dan sangat panas menyengat.
Ramadhan berasal dari akar kata Arab ramidha atau arramadh yang berati panas terik matahari yang intens dan kering, terutama tanah. Dari akar yang sama ada ramdhaa, pasir terjemur, dan pepatah terkenal: “Kal Mustajeer Minar Ramadhaa binnar” – untuk melompat keluar dari penggorengan ke dalam api.

-     - Ayat yg mewajibkan puasa : Al-Baqoroh 183-184

-       - Ancaman bagi yang tidak berpuasa
Dari Ibnu Abbas ra : Rasulullah saw bersabda,”Simpul-simpul Islam dan landasan agama ada tiga, dimana prinsip-prinsip Islam dibangun diatas ketiganya. Barangsiapa meninggalkan salah satu dari ketiganya maka dia telah kafir dan halal darahnya : 1)Syahadat Laa Ilaaha Illallah, 2)Sholat-sholat wajib, 3)Puasa Ramadhan”. [HR Abu Yalaa dan Ad-Dailami, dishahihkan oleh Imam Adz-Dzahabi]
Dari Abu Hurairah ra : Nabi saw bersabda,”Barangsiapa tidak berpuasa sehari saja pada bulan Ramadhan, tidak karena rukhshah yang diberikan oleh Allah kepadanya, maka tidak akan dapat menggantikannya puasa seumur hidup seandainya ia melakukannya”. [HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi ]. Dalam riwayat Bukhari, disebutkan bahwa Abu Hurairah berkata : Nabi saw bersabda,” Barangsiapa tidak berpuasa sehari saja pada bulan Ramadhan, tidak karena udzur dan tidak pula karena sakit, maka tidak akan dapat menggantikannya puasa seumur hidup seandainya ia melakukannya”.
Imam Adz-Dzahabi mengatakan,”Kaum mukminin telah menetapkan bahwa barangsiapa meninggalkan puasa Ramadhan tidak karena sakit maka ia lebih buruk daripada pezina dan orang yang gemar minum khamr, bahkan keislamannya diragukan dan disinyalir sebagai seorang zindiq”.

-      - Keutamaan Puasa dan Bulan Ramadhan
Diriwayatkan oleh Bukhari, 1761 dan Muslim, 1946 dari Abu Hurairah radhiallahuanhu berkata, Rasulullah sallallahualai wa sallam bersabda, "Allah berfirman, Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya."

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan makna hadits di atas:
1. Bahwa puasa tidak terkena riya sebagaimana (amalan) lainnya terkena riya.
(Melatih sifat jujur dan amanah, sebab puasa adalah rahasia antara hamba dengan Allah subhanahu wataala)
2. Maksud dari ungkapan Aku yang akan membalasnya, adalah bahwa pengetahuan tentang kadar pahala dan pelipatan kebaikannya hanya Allah yang mengetahuinya.
3. Makna ungkapan Puasa untuk-Ku, maksudnya adalah bahwa dia termasuk ibadah yang paling Aku cintai dan paling mulia di sisi-Ku.

Melatih sifat sabar dan pengendalian diri, sebab puasa melemahkan jalan syaitan.

Menumbuhkan kasih sayang kepada orang-orang miskin.

Memberi manfaat kesehatan.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila tiba bulan Ramadan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu neraka dan setan-setan dibelenggu. (Shahih Muslim No.1793)

Hadis riwayat Sahal bin Saad ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat pintu yang bernama Rayyan. Orang-orang yang berpuasa akan masuk lewat pintu itu pada hari kiamat. Tidak ada orang selain mereka yang masuk bersama mereka. Ditanyakan: Di mana orang-orang yang puasa? Kemudian mereka masuk lewat pintu tersebut dan ketika orang yang terakhir dari mereka sudah masuk, maka pintu itu ditutup kembali dan tidak ada orang yang akan masuk lewat pintu itu. (Shahih Muslim No.1947)

"Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim." (HR. Bukhari dan Muslim)

Barangsiapa yang bergembira dengan kedatangan bulan Ramadhan niscaya Allah mengharamkan jasadnya dari neraka
Takhrij : Hadits ini disebutkan oleh Al Khubawi (penulis kitab Durratun Nashihin) dalam kitabnya tanpa menyebutkan sanad dan sumbernya (maudhu/palsu)

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala (keridhoan) Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang terdahulu." (HR. Bukhari)

Rasulullah shalallahualaihi wasallam bersabda;
"Puasa dan Al Quran itu akan memberikan syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat nanti. Puasa akan berkata, "Wahai Tuhanku, saya telah menahannya dari makan dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan aku untuk memberikan syafaat kepadanya". Dan Al Quran pula berkata, "Saya telah melarangnya dari tidur pada malam hari, karenanya perkenankanlah aku untuk memberikan syafaat kepadanya." Beliau bersabda, "Maka syafaat keduanya diperkenankan."(H.R. Ahmad, Hakim, Thabrani)

-      Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, Rasulullah shallallahualaihi wasallam bersabda,
"Allah berfirman (yang artinya);"Setiap amal anak adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka janganlah berkata kotor, jangan pula berteriak-teriak. Jika ada seseorang yang mencaci dan mengajak berkelahi maka katakanlah, "Saya sedang berpuasa". Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat daripada bau minyak kasturi. Dan bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, ketika berbuka mereka bergembira dengan bukanya, dan ketika bertemu Allah mereka bergembira karena puasanya". (H.R. Bukhari dan Muslim)

-      - Larangan puasa terus menerus (wishal).
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Nabi saw. melarang puasa sambung (terus-menerus tanpa berbuka). Para sahabat bertanya: Bukankah baginda sendiri melakukan puasa wishal? Nabi saw. menjawab: Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum. (Shahih Muslim No.1844)

-      - Diharamkan berpuasa pada hari Raya.
Hadis riwayat Umar bin Khathab ra., ia berkata:
Bahwa dua hari ini hari yang dilarang Rasulullah saw. untuk berpuasa, yaitu hari raya Idul Fitri setelah kalian berpuasa (Ramadan) dan hari raya makan (daging kurban) setelah kalian menunaikan ibadah haji. (Shahih Muslim No.1920)

-      - Makruh, puasa pada hari Jumat.
Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.:
Dari Muhammad bin Abbad, ia berkata: Aku bertanya kepada Jabir bin Abdullah ra. ketika sedang melakukan tawaf di Baitullah: Apakah Rasulullah saw. melarang puasa pada hari Jumat saja? Jabir menjawab: Ya, demi Tuhan Baitullah ini. (Shahih Muslim No.1928)

-      - Jangan berpuasa ketika mau masuk bulan Ramadhan.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Janganlah engkau berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadan, kecuali bagi seorang yang biasa berpuasa, maka baginya silakan berpuasa. (Shahih Muslim No.1812)

-      - Puasa Ramadhan harus didahulukan dengan niat.
Hadits no. 656 dari kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar membawakan hadits:
وَعَنْ حَفْصَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ } رَوَاهُ الْخَمْسَةُ ، وَمَالَ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ إلَى تَرْجِيحِ وَقْفِهِ ، وَصَحَّحَهُ مَرْفُوعًا ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَوَلِلدَّارَقُطْنِيِّ { لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَفْرِضْهُ مِنْ اللَّيْلِ }
Dari Hafshoh Ummul Mukminin bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari sebelum fajar, maka tidak ada puasa untuknya.” Hadits ini dikeluarkan oleh yang lima, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah. An Nasai dan Tirmidzi berpendapat bahwa hadits ini mauquf, hanya sampai pada sahabat (perkataan sahabat). Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbah menshahihkan haditsnya jika marfu yaitu sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dalam riwayat Ad Daruquthni disebutkan, “Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat ketika malam hari.”

-      - Keutamaan sahur.
Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur itu terdapat keberkahan. (Shahih Muslim No.1835)

-      - Batas waktu sahur, adzan Subuh.
“Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS Al-Baqarah [2] : 187)

Definisi fajar adalah: waktu Subuh.
Aisyah RA, dia berkata,”Janganlah adzan Bilal mencegah dari sahur kamu, karena dia menyerukan adzan pada malam hari. Makan minumlah kamu hingga kamu mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum, karena dia tidak menyerukan adzan hingga terbit fajar (waktu Subuh).” (HR Bukhari, Muslim, Nasa`i, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah)

Abu Hurairah RA berkata,”Rasulullah SAW bersabda,Jika seseorang dari kamu mendengar adzan (Shubuh), sedangkan bejana (air) sedang di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejananya hingga dia menyelesaikan hajatnya darinya [minum].” (HR Abu Dawud no 2350, Ahmad, Daruquthni, dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Imam Dzahabi)

-      - Menyegerakan berbuka.
Hadis riwayat Sahal bin Saad ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Orang-orang itu senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka. (Shahih Muslim No.1838)

-      - Makruh, berkumur ketika wudhu.
Laqith bin Shabirah r.a menyampaikan , bahwa Rasulullah SAW bersabda ,  "sempurnakanlah wudhu, usaplah antara sela-sela jari , dan bersungguh-sungguhlah memasukkan air ke dalam hidung lalu menyemprotkannya , kecuali kamu sedang berpuasa"  (Diriwayatkan oleh imam empat . Hadis ini dinilai shahih oleh ibnu Khuzaimah)

-      - Boleh tidak berpuasa, ketika safar.
Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bepergian pada tahun penaklukan kota Mekah di bulan Ramadan. Beliau tetap berpuasa hingga tiba di daerah Kadid, beliau tidak berpuasa. Dan para sahabat Rasulullah saw. selalu mengikuti kejadian demi kejadian karena perintahnya. (Shahih Muslim No.1875)

-      - Orang yang meninggal, dapat diqodho oleh walinya.
Hadis riwayat Aisyah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayar tangungannya. (Shahih Muslim No.1935)

Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:
Bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw. dan berkata: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia mempunyai tanggungan puasa sebulan. Beliau bertanya: Apa pendapatmu jika ibumu mempunyai utang kepada orang lain, apakah engkau akan membayarnya? Ia menjawab: Ya (aku akan bayar). Beliau bersabda: Utang kepada Allah adalah lebih berhak untuk dibayar. (Shahih Muslim No.1936)

-      - Kalau makan minum karena lupa, puasa tidak batal.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa lupa bahwa ia sedang berpuasa, sehingga ia makan atau minum, maka hendaklah ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh Allah. (Shahih Muslim No.1952)

-     -  Muntah tidak disengaja, tidak membatalkan puasa.
Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yg terpaksa muntah, maka tdk wajib mengqadha puasanya. Sedangkan siapa yg sengaja muntah, maka wajib mengqadha puasanya.” (HR Khamsah)

Tiga perkara yg tdk membatalkan puasa: muntah, hijamah (bekam) & ihtilam (mimpi basah). (HR Tirmizy & Al-Baihaqi)

-      - Itikaf.
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:
Rasulullah saw. pernah melakukan iktikaf pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadan. Ketika mana waktu dua puluh malam telah berlalu dan akan menyambut malam yang kedua puluh satu, maka beliau kembali ke rumahnya dan sahabat yang beriktikaf bersama beliau juga kembali ke rumah mereka. Kemudian beliau bangun malam pada malam ia kembali dari iktikaf dan berpidato di hadapan sahabat serta menyuruh mereka untuk melaksanakan kehendak Allah lalu bersabda: Sungguh dahulu aku iktikaf pada sepuluh malam ini (sepuluh malam pertengahan) kemudian nampak olehku (melalui mimpi) untuk iktikaf pada sepuluh malam akhir. Barang siapa yang pernah iktikaf bersamaku, maka hendaklah ia tidur di tempat iktikafnya. Sesungguhnya aku telah melihat (lailatulkadar) pada malam-malam ini, tetapi lalu aku lupa (waktunya), maka cari dan nantikanlah malam itu di sepuluh malam akhir yang ganjil. Aku pernah bermimpi bahwa aku sujud di air dan lumpur. Abu Said Al-Khudri berkata: Pada malam kedua puluh satu, kami diturunkan hujan, sehingga air mengalir dari atap mesjid ke tempat salat Rasulullah saw., lalu aku memperhatikan beliau. Beliau sudah selesai dari salat Subuh dan pada wajah beliau basah dengan lumpur dan air. (Shahih Muslim No.1993)